Meneguhkan Perkaderan HMI sebagai Pilar Gerakan Umat - HMI Komisariat Syariah Walisongo Semarang

Breaking

Minggu, 29 Juni 2025

Meneguhkan Perkaderan HMI sebagai Pilar Gerakan Umat


Kaderisasi di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bukan sekadar aktivitas struktural yang terjadwal tahunan, melainkan ruh dari gerakan itu sendiri. Sejak didirikan oleh Lafran Pane pada 5 Februari 1947, HMI tidak pernah dimaksudkan sekadar menjadi organisasi formal mahasiswa Islam, tetapi sebagai kawah candradimuka pencetak intelektual berintegritas yang mengabdi untuk umat dan bangsa. Maka dari itu, bicara tentang perkaderan HMI bukan hanya berbicara tentang metode, tetapi menyentuh soal orientasi, nilai, bahkan masa depan gerakan keislaman dan keindonesiaan itu sendiri.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan gejala serius, yakni krisis kader, stagnasi ide, dan menurunnya kualitas keaktifan dalam berbagai cabang dan komisariat. Jika kita jujur menilai, banyak proses perkaderan yang hari ini berjalan hanya sebagai formalitas administratif. Tidak jarang, Latihan Kader (LK) dilakukan sekadar menggugurkan kewajiban tahunan, tanpa refleksi serius mengenai substansi dan arah gerak yang ingin dibentuk. Akibatnya, kader yang dihasilkan minim perspektif keumatan, rapuh dalam militansi, dan kering dalam keberpihakan sosial.

Padahal, sebagaimana dicatat oleh Clifford Geertz dalam kajian klasiknya Islam Observed (1968), kekuatan komunitas Muslim di Indonesia terletak pada kemampuannya mentransformasikan nilai Islam ke dalam struktur sosial yang hidup. Maka HMI, yang menjdi sebagai organisasi kader, harusnya mampu memproduksi manusia yang berpikir kritis, membela umat, dan punya keberanian moral di tengah problem bangsa yang kian kompleks.

Permasalahan utama kaderisasi HMI hari ini bukan sekadar teknis, melainkan ideologis. Banyak pelatihan yang terlalu teknokratik penuh data dan materi, tetapi kosong dari semangat dan tafsir ideologis. Tidak cukup hanya mengajarkan sejarah HMI dan AD/ART, kader harus diajak menafsirkan ulang makna independensi, menyoal ulang relasi Islam dan keindonesiaan hari ini, serta berani menguji ulang sikap politik keumatan terhadap realitas yang terus berubah.

Antonio Gramsci pernah menyebut kader sebagai "organik intellectuals" mereka yang tidak hanya berteori, tetapi membumi dalam gerakan rakyat. HMI harusnya mencetak kader semacam ini: yang tidak hanya fasih berbicara di forum LK2, tetapi juga mampu memimpin advokasi lingkungan, membangun desa, atau menjadi pembela keadilan di ruang hukum dan kebijakan. Kaderisasi tidak boleh berhenti pada wacana, ia harus bermuara pada praksis sosial yang tajam dan berdampak.

Sayangnya, banyak cabang yang mulai kehilangan orientasi ini. Kegiatan diskusi yang dulu menjadi jantung kaderisasi perlahan digantikan oleh agenda dokumentatif dan pelatihan-pelatihan dangkal yang lebih mengutamakan estetika pamflet dibanding substansi pemikiran. Tidak sedikit pula komisariat yang lebih sibuk dalam urusan politik kampus dibanding membina intelektualitas kader.

Pola seperti ini berbahaya. Ia akan melahirkan kader yang secara administratif sah, tetapi secara ideologis kosong. Kita sedang menghadapi era baru di mana umat Islam butuh pemimpin yang bukan hanya paham teks, tetapi juga tanggap konteks. Di titik ini, perkaderan HMI harus segera direkonstruksi. Tidak hanya dari sisi metode, tapi juga dari paradigma. Kaderisasi harus kembali menjadi ruang dialog, tempat pembacaan realitas, dan laboratorium tafsir keumatan yang progresif.

Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia (1982) menekankan bahwa gerakan Islam yang kuat adalah yang dibangun di atas basis intelektual yang solid. Maka HMI tidak boleh puas hanya dengan mencetak organisator. Ia harus membina ilmuwan sosial, pemikir kebudayaan, penggerak ekonomi umat, hingga pemimpin transformasional yang sadar sejarah dan tajam membaca masa depan.

Kita juga tidak boleh lupa bahwa dalam proses ini, keteladanan memegang peran utama. Sehebat apa pun kurikulum LK, jika seniornya tidak menjadi teladan, maka kader hanya akan melihat organisasi sebagai alat mobilisasi, bukan ruang pembentukan diri. Mohammad Natsir dan Haji Agus Salim adalah contoh bagaimana keteguhan prinsip dan ketulusan perjuangan dapat menghidupkan jiwa kader meski tanpa kemewahan logistik.

Oleh sebab itu, revitalisasi kaderisasi di HMI adalah keniscayaan. Kita tidak butuh gebrakan besar, tetapi perenungan serius dan evaluasi jujur terhadap kondisi kita hari ini. Forum perkaderan perlu dihidupkan kembali dengan semangat belajar bersama, bukan menggurui. Ruang diskusi mesti dibuka selebar-lebarnya agar kader muda bisa tumbuh tanpa takut dikekang oleh senioritas. HMI butuh lebih banyak pembina yang mau menemani, bukan hanya memberi instruksi.

Kalau hari ini banyak yang mengeluh bahwa kader HMI tidak sekuat dulu, maka jangan buru-buru menyalahkan generasi. Mungkin yang salah adalah pola, pendekatan, bahkan cara kita memaknai kaderisasi itu sendiri. Inilah saatnya kita kembali bertanya: apa sebenarnya tujuan kita mengkader? Apakah sekadar memenuhi struktur? Atau sungguh-sungguh ingin mencetak pemimpin umat yang berintegritas?

Kita boleh berbeda cabang, berbeda komisariat, bahkan berbeda latar ideologis. Tapi satu hal yang tak boleh kita hilangkan adalah semangat kejuangan HMI: menjadi insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

 Penulis: Khoirullah Simbolon - Komisariat Syariah & Hukum Cabang Semarang


Daftar Pustaka

  • Geertz, Clifford. Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia. University of Chicago Press, 1968.
  • Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. International Publishers, 1971.
  • Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. LP3ES, 1982.
  • Kahin, Audrey R. Mohammad Natsir: Politician for Islam and the Nation. Equinox, 2021.
  • Gonggong, Anhar (ed.). Pemikiran dan Perjuangan Haji Agus Salim. Kompas, 2014.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages